TV WARISAN
Sebuah Cerpen
TV WARISAN
Oleh:
Supardi Harun
Sardi dan
Ita, kakak beradik, sedang nonton TV di ruang tengah. Sementara ibunya, memasak
di dapur. Dia merebus singkong untuk
sarapan kedua anaknya. Sardi memanggil-manggil minta sarapan, singkong rebus . Dia merasa
lapar.
Singkong
di dalam kendil belum matang. Hanya beberapa yang sudah empuk.Tak lama kemudian
ibunya mengambil singkong rebus dua potong dari kendil. Ibunya memberikan
singkong tersebut kepada Sardi.
Adiknya
Sardi, Ita, masih menonton film kartun doremon dengan serius. Diam mengikuti
cerita. Suara di TV dan gambarnya sudah tidak jelas. Sehingga kadang Ita harus
maju , menjulurkan matanya dekat layar TV hitam putih itu. Sardi , yang duduk
di belakang adiknya makan singkong . Sesekali dia mendesah kepanasan ketika
mengunyahnya.
Ita,
ingin singkong rebus juga. Tapi tidak dikasih oleh Sardi. Singkong yang satu
sudah dimakan . Sekarang tinggal satu . Itupun di pegang erat oleh Sardi. Ita,
adiknya, berusaha merebutnya. Namun, tidak berhasil. Malah Sardi terus saja
makan singkong. Akhirnya Ita menangis. Suara tangisnya kedengaran oleh ibunya
di dapur.
“ Ada apa
, nak ? “ tanya ibunya yang setengah
lari dari dapur.
“Itu,
singkongngya dimakan Sardi semua” jawab Ita, sambil menunjuk piring kosong.
“ Nak , jangan menangis. Diam. Ibu ambilkan singkong
lagi”.
***
Hujan
deras dari pagi hingga sore belum juga berhenti. Sesekali terdengar suara
petir. Angin yang kenjang membuat hati ibu Jum ketakutan. Rumah yang di huni
dari bambu ini mulai bocor. Pas depan TV
air sudah menetes . Bu Jum mengambil ember untuk “ nadahi” air supaya tidak membasahi lantai. Dan ditutupi pula TV hitam
putih itu dengan kain bekas jarik yang sudah tidak dipakai.
Sambil menunggu hujan reda, Bu Jum mengajak
anak-anaknya Sardi dan Ita salat Magrib. Seperti biasa, setelah salat Magrib
mereka belajar mengaji. Dengan sabar Ibu Jum mengajari membaca Alquran. Sardi
sudah bisa membaca dengan lancar dibanding adiknya.
Hujan sudah
mulai reda. Hanya tinggal rintik-rintik kecil. Suasana dingin itu membuat Sardi
dan Ita mulai ngantuk. Sehingga bu Jum menyuruh mereka tidur .
Ibu Jum,
mengambil ember yang penuh air bocoran genteng. Dia membuangnya ke halaman
rumah. Walau sudah jam sembilan malam, ibu Jum belum bisa tidur. Dia hanya
duduk di ruang tengah sendirian. Untuk mengilangkan kesepian dan heningnya
malam , dia menyalakan TV. Dicarilah acara yang menarik. Di tekanlah tombol
satu persatu. Setelah ketemu suara lagu campur sari ibu Jum kembali duduk di
atas di pan yang ada di depan TV.
Gambar
penyanyi yang ada di TV itu tidak jelas. Mungkin cuaca habis hujan jadi gambar
TV tidak nampak . Sehingga sebentar
–bentar gambarnya hilang dan sebentar
muncul lagi. Namun, suara penyanyi itu bisa di nikmati. Ibu Jum , merasa
terhibur. Sesekali menirukan syair lagu
campur sari itu.
Setelah
hanyut gendhing lagu campur sari, tiba-tiba bu Jum menangis. Karena dia
teringat suaminya Almarhum, bapak Wiyono meninggal 3 tahun yang lalu. Waktu itu
meninggal saat sedang menonton acara campur sari di TV. Bu Jum mulai teringat
kembali sosok pria yang mendampingi selama hampir duapuluh tahun. Sesekali, ibu
Jum tidak kuasa menahan tangisnya.
Bu Jum
berdiri dan mematikan TV itu. Gerimis air hujan yang belum juga reda, menambah
derasnya air matanya. Wanita yang hidup bertiga dengan kedua anknya itu selalu teringat
suaminya. Kenapa begitu cepat meninggalkan dirinya. Sementara anak-anaknya
masih kecil. Dia merasa berdosa belum bisa berbakti kepada suaminya sepenuhnya.
Hampir
lima tahun Bapak Wiyana, suaminya ,menerita sakit. Sesak nafas yang diderita
oleh suaminya ternyata itu merupakan tenggang waktu peringatan olehnya. Tidak
menyangka setelah menonton TV beliau meninggal. Tepatnya malam Sabtu pukul
20.00 malam. Ibu Jum tidak mendapat firasat apa-apa. Hanya saja waktu itu pernah mimpi ketika hujan deras dan angin
kencang, buah pohon mangga yanga da di
depan rumah ada yang jatuh. Namun, dia tidak pernah percaya dengan mistik. Jadi
tidak ada kaitannya buah mangga yang jatuh dengan kepergian suaminya.
Kehidupan
sehari-hari dilalui oleh ibu Jum dan anak-anaknya dengan kesederhanaan. Setiap
pagi dia menjual kue rebusan di pasar dilakukan sudah hampir delapan
tahun. Uang sedikit dari keuntungan
jualan kue rebus digunakan untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Sebagian dia
tabung uang itu untuk biaya sekolah kalau sudah masuk SMP. Tidak seperti ketika
masih ada suaminya. Kebutuhan makan dan beli baju sedikit tercukupi.
Pernah
kakaknya menyarankan untuk menikah lagi. Namun, Bu Jum masih belum mau. Karena
sulit melupakan kasih sayang dan cinta
yang diberikan almarhum suaminya kepadanya. Lagi pula, tidak ingin anak-anaknya
mempunyai bapak tiri. Selain itu dia ingin membesarkan anak-anak dengan sepenuh
cinta. Dia takut ketika menikah dan memiliki suami lagi , cintanya hilang untuk
anak-anaknya , buah hatinya bersama pak Wiyana, suaminya.
Di ruang
tengah siang itu, Sardi dan Ita bermain bersama. Sardi asyik membuat
mobil-mobilan dari bekas sandal. Sementara , adiknya, Ita menggambar di atas
buku gambar. Mereka nampak rukun. Tidak pernah berantem. Kecuali sedang menonton
TV bersama. Mereka berebut menyalakan TV duluan dan mencari channel acara
kesukaan masing-masing. Namun, anehnya ketika malam hari saat ada acara campur
sari mereka mengalah. Karena mereka tahu kalau almarhum bapaknya dan ibunya
suka nonton campur sari di TV.
Malam
gelap dan gerimis yang selalu datang membuat mereka cepat ngantuk. Ibu Jum yang
seharian membantu tetangga yang sedang panen padi merasa lelah. Sehingga tidak kuat lagi segera merebahkan
tubuhnya dan memejamkan netranya. Sampai lupa untuk mengunci pintu belakang.
Tengah
malam hening sepi. Maling, pemuda kecil kurus masuk ke rumah Bu Jum lewat pintu
belakang yang tidak terkunci. Wajahnya ditutupi sepotong kain hitam . Sarung
gede kedodoran diikatkan melingkar di badanya. Berjalan perlahan memasuki ruang
tengah lewat dapur. Dilihatnya beberapa perabot dapur yang berserakan. Di ujung
dapur ada 3 ekor ayam yang mengerami telornya.
Lampu
templok yang ada di atas meja tengah menyala redup. Pemuda tadi melihat ke arah lemari dan membukanya. Hanya
ada tumpukan baju dan kaos. Pemuda tadi
mengambil sarung bekas pak Wiyana. Setelah itu ditutup kembali pintu lemari
itu.
Di depan
meja tengah ada sebuah TV hitam putih.
Pemuda tadi mengambilnya. Dibungkuslah dengan sarung bekas pak Wiyana. Setelah
itu ditiuplah lampu templok. Ruangan
jadi gelap. Bu Jum dan anak-anaknya terlelap tidur di ruang sebelah. Gemercik
hujan yang menderas beradu langkah kaki pemuda tidak kedengaran. Dan pemuda,
maling, itu keluar membawa TV warisan
lewat pintu belakang yang tak terkunci.
Bekasi, 8 Februari 2021
*)Supardi Harun Ar Rasyid, pria asal Solo, Jawa Tengah. Seorang
guru bahasa Inggris dan Founder Gama Nusa English Education Centre. Kepala perpustakaan, pegiat literasi, dan penulis buku.
Komentar
Posting Komentar